Monday, September 5, 2016

Wawancara Khusus Dirut Pelindo II - Jurus Pangkas Dwell Time Tanjung Priok Agar Turun Jadi 2 Hari

Wawancara Khusus Dirut Pelindo II - Jurus Pangkas Dwell Time Tanjung Priok Agar Turun Jadi 2 Hari

Jakarta - Waktu bongkar barang hingga keluar pelabuhan (dwell time) yang memakan waktu berhari-hari, merupakan masalah klasik pelabuhan di Indonesia. Direktur Utama PT Pelindo II (Persero), Elvyn G Masassya, mengatakan ada banyak faktor yang menentukan dwell time bisa menjadi lebih efektif.

Selain itu, berkurangnya dwell time menjadi salah satu faktor turunnya biaya logistik yang akan berdampak pada harga barang. Dengan semakin bertambahnya kapasitas Tanjung Priok, bagaimana strategi Pelindo mengatasi masalah dwell time?

Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Elvyn di kantornya, Jalan Pasoso nomor I, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (31/8/2016).

Dwell time di Priok saat ini berapa lama?
Total sekarang, rata-rata di Priok dwell time mencapai 3,1-3,2 hari.

Berapa angka dwell time yang wajar untuk pelabuhan besar seperti Tanjung Priok?
Saya kira yang wajar itu memang 2-2,5 hari. Dan seperti yang saya utarakan, dwell time hanya salah satu elemen dalam penurunan biaya logistik. Kalaupun dwell time sudah diperbaiki, maka aspek interland-nya juga harus diperbaiki. Transportasi harus diperbaiki. Dia terintegrasi. Karena bisnis di pelabuhan, karakteristiknya atau konsepnya adalah value chain atau supply chain. Ada rantai yang berisi titik-titik tertentu dalam proses distribusi barang tadi. Dan semua titik ini harus diperbaiki.

Apa strategi yang dilakukan Pelindo untuk memangkas dwell time?
Tentu kita berupaya agar dwell time ini bisa lebih cepat. Ada tanggung jawab masing-masing, baik dari pengelola arus barang dan arus dokumen. Pelabuhan bertanggung jawab dengan pengelolaan arus barang. Bagaimana pengelolaan arus barang bisa cepat, tentu kapal-kapal bisa cepat merapat, cepat bongkar muatnya, sehingga lebih cepat keluar. (Baca juga: Diklat Ekspor-Impor)

Dalam konteks itu kami sudah membangun yang namanya Inaportnet. Ini suatu sistem informasi, sehingga ketika kapal mau masuk, kita sudah tahu kapal itu kapan akan masuk, bawa barang apa saja, berapa jumlahnya, dan nanti akan merapat di terminal yang mana. Ini adalah salah satu pembenahan yang kita lakukan, membangun sistem informasi untuk keluar masuk kapal secara lebih mudah sehingga dia lebih cepat merapat.

Kemudian setelah kapal merapat, dia harus ada proses bongkar muat. Proses bongkar muat ini harus dilakukan dengan peralatan-peralatan yang sesuai. Kalau kapalnya besar, peralatannya harus besar. Sehingga kemudian dalam konsep kita, perhitungan kecepatan bongkar muat ini sudah kita buat standar. Misalnya satu jam bongkar muat, harus mampu menurunkan atau menaikkan 30 kontainer. Setelah itu kemudian dibawa ke penumpukan, lalu diperiksa. Pemeriksaan ini oleh instansi terkait. Setelah diperiksa dibawa keluar. (Baca juga: Diklat Ahli Kepabeanan)

Bagaimana proses percepatan ini, kami juga segera melakukan review untuk percepatannya. Kami mengusulkan untuk membuat satu tempat yang kita sebut dengan pelayanan terpadu. Jadi 18 kementerian terkait akan ada dalam satu tempat dan secara bersama-sama melakukan pemeriksaan, sehingga proses pemeriksaan lebih cepat. Tentu arus barangnya juga bisa lebih cepat.

Di luar pemeriksaan terpadu ini, kita juga sedang berencana dan sekarang sedang pada tahap koordinasi, percepatan dalam menyiapkan National Single Window (NSW). NSW ini artinya secara sistem. Sehingga dokumen-dokumen itu dari satu pelaku bisa langsung diterima oleh seluruh pihak terkait dan pemeriksaannya tidak lagi secara sequencial tetapi sekaligus. Dengan proses pelayanan satu atap dengan NSW, maka diharapkan nanti paling tidak semuanya selesai satu hari. Maka harapannya kemudian, proses dwell time bisa mencapai at least 2-2,5 hari.

Apakah bisa terjadi penghematan biaya logistik?
Saat ini berdasarkan studi, dari total biaya logistik, 45% nya ada di darat. Ketika barang itu masuk ke pelabuhan dan sampai kepada tujuan, 45%-nya didarat.

Nah bagaimana kita sama-sama menurunkan, tentu di area pelabuhan pun harus dilakukan upaya penurunan biaya logistik. Kemudian di darat pun harus dilakukan upaya penurunan biaya logistik. Langkah-langkah yang kita lakukan tentu tidak boleh sporadis, atau parsial. Dia harus komprehensif dan sistematis.

Dalam konteks pelabuhan sendiri, kami berencana untuk membangun Central Freight Station (CFS). Jadi barang-barang itu akan dikumpulkan dalam satu tempat, nanti kemudian diperiksa di situ. Kemudian proses zonasinya sendiri, sehingga kemudian tahu kapalnya merapat di mana, bawa barang apa. Kemudian peningkatan produktivitas bongkar muatnya sendiri. Yang tadi saya sebut satu jam bisa 30 kontainer.

Di luar itu juga bagaimana kapal itu supaya jangan merapat terlalu lama. Proses bongkar muatnya cepat, dia bawa barang lalu bisa keluar. Nah ini kan menurunkan biaya logistik juga, ongkosnya menjadi lebih murah. Tentu di luar itu ada proses yang harus kita perbaiki, yang selama ini mungkin masih menimbulkan high cost economy. Itu kita turunkan. Seperti berapa lama barang dibawa dari pelabuhan ke kawasannya, berapa biayanya. Jadi semua ini adalah suatu sistem yang saling terkait yang konsepnya adalah port integrated.

Kapan hasilnya bisa dirasakan?
Saya nggak bisa memberikan jaminan, tapi kita mengupayakan ini. Karena proses ini kan melibatkan banyak sekali pihak. Tetapi sekarang kita sedang berkoordinasi secara intensif, membuat action plan, menyiapkan langkah-langkah yang kita sepakati bersama. Saya pribadi tentu berharap, 2017 (dwell time) sudah lebih baik dari sekarang.

Sumber: Detikfinance

Sunday, May 22, 2016

RI Pernah Jadi Eksportir Gula Terbesar Kedua Dunia, Kini Malah Impor

RI Pernah Jadi Eksportir Gula Terbesar Kedua Dunia, Kini Malah Impor

Jakarta -Kebutuhan gula konsumsi sampai saat ini masih bergantung pada impor. Saat ini, dari kebutuhan gula konsumsi sebesar 3 juta per tahun, produksi gula dalam negeri baru 2,5 juta ton. Riciannya 1,5 juta ton diproduksi pabrik gula (PG) BUMN, dan sisanya oleh PG swasta.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, menceritakan kondisi industri gula dalam negeri yang saat ini terus menurun. Pasalnya, saat zaman kolonial Hindia Belanda, Indonesia pernah menjadi negara eksportir kedua terbesar dunia setelah Kuba, tepatnya pada dekade 1930-an.

"Gara-gara tak pernah ada peremajaan pabrik yang kebanyakan peninggalan Belanda akhirnya kita sekarang impor. Padahal dulu kita eksportir kedua terbesar dunia, dengan produksi 3 juta ton setahun. Penduduk saat itu tak banyak, akhirnya diekspor kelebihannya," ujarnya kepada detikFinance, Senin (23/5/2016).

Menurut Sumitro, puncak produksi terjadi pada tahun 1929-1930 saat gula jadi komoditas andalah ekspor Hindia Belanda. Predikat eksportir gula terbesar tersebut tak lepas dari banyaknya pabrik gula (PG) yang dbangun di awal tahun 1920-an (Baca juga: Diklat Ekspor-Impor Terpadu dengan Uji Kompetensi Nasional)

"Itu bukan mimpi, Belanda sampai bangun 179 pabrik, terbanyak di Jawa. Kita juara dunia gula tahun 1929 sampai 1930. Setelah merdeka malah banyak pabrik gula dibiarkan," kata dia.

Menurut Sumitro, dengan produksi mencapai 3 juta ton, Indonesia mengalahkan negara-negara produsen utama gula dunia seperti Thailand, Brasil, dan India. Namun saat ini, negara-negara tersebut telah menyalip posisi Indonesia.

Brasil contohnya, produksi gula negara tersebut saat ini mencapai lebih dari 29 juta ton, disusul India dengan produksi 29 juta ton, China 11 juta ton, dan Thailand 5 juta ton. Sementara Indonesia, produksi gula malah menyusut dari 3 juta ton menjadi 2,5 juta ton sampai saat ini.

"Artinya ada kesalahan di manajemen pabrik gula dengan tidak adanya peremajaan pabrik-pabrik peninggalan Belanda. Kita itu berpikirnya lebih senang dagang ketimbang produksi, akhirnya kebijakan arahannya bagaimana bisa dicukup dengan impor saja," kata Sumitro.

Sumber: Detik Finance

Thursday, March 24, 2016

Lowongan Kerja Regulations Officer (Export-Import) Wilmar Group

Lowongan Kerja Regulations Officer (Export-Import) Wilmar Group


Wilmar Group is looking for position:

Regulations Officer (Export Import)

Requirements:
  • Minimum 3 years experience in import/export or related field
  • Strongly understand Laws of Customs, Trade, Industry and related governments
  • Strongly understand regulation related to Export Import
  • Strong customer service & problem-solving skills and also very good communication skill
  • Extensive negotiating skills
  • Bi-lingual or Multi-lingual speaking english and Mandarin
  • Having Kepabeanan Certificate is a MUST
Job Description:
  • Attending Tax Court
  • EXIM; Ensure proper classification of material, proper valuation, correct country of origin or accumulation, and that shipment are in accordance with global bilateral agreements
  • Internal data entry for inventory and financial tracking/accountability
  • Ability to negotiate terms and contracts with vendors and clients
  • Excellent customer service skills and knowledge of export & import laws and regulations
  • Communicates with Traffic/Shipping on all international shipments
  • Reports Potential Export/Import Violations
  • Developing and implementing an export/import compliance program
  • Coordinate with relevant institutions required for export such as customs clearance, insurance, freight and other services
If you meet the requirements, please send us your update resume and photograph through our mail at santi.cahyaningrum[at]wilmar.co,id or fitriani.juliastuti[at]wilmar.co.id


Sunday, January 10, 2016

Selamat datang MEA

Selamat datang MEA

Jakarta (ANTARA News) - Para pemimpin Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hampir dua dekade lalu sepakat membentuk pasar tunggal di kawasannya pada akhir 2015, yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Mereka sepakat, agar daya saing Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) meningkat sekaligus bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi.

Pembentukan pasar tunggal yang berlaku mulai Januari 2016 ini memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara yang sepakat dalam ASEAN Economic Community (AEC) atau MEA sehingga kompetisi akan makin ketat.

MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara dan akuntan. (Baca juga: Kursus Ekspor-Impor dan Ahli Kepabeanan)

Selain itu, MEA juga membuka arus bebas investasi dan arus bebas modal di kawasan yang merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok.

Bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi), memasuki era MEA itu artinya peningkatkan kemampuan untuk berkompetisi menghadapi persaingan, dan menjadi hal penting.

Presiden berharap masyarakat tidak takut terhadap persaingan.

Sebenarnya, Presiden Jokowi menilai, hampir semua kepala negara di ASEAN ketika bertemu dirinya justru mengkhawatirkan negara mereka kebanjiran produk dari Indonesia. Mereka beranggapan, justru Indonesia yang diuntungkan dalam penerapan MEA.

ASEAN beranggotakan 10 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.

Untuk menyambut MEA, Presiden menyebutkan bahwa infrastruktur menjadi fokus pemerintah dan telah disiapkan anggaran sebesar Rp313 triliun untuk pembangunannya.

Sementara itu, ada beberapa catatan yang patut dicermati pada era MEA, antara lain berdasarkan laporan Indeks Kinerja Logistik 2014, Indonesia menempati posisi 53 dengan nilai rata-rata 3,08, sementara negara tetangga, Singapura berada di peringkat lima, Malaysia di posisi 25, Thailand di peringkat 35 dan Vietnam di peringkat 48.

Selain itu, laporan peringkat daya saing Indonesia 2015-2016 sebagaimana dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (FED) pada September 2015 menyebutkan bahwa Indonesia pada laporan yang dilakukan terhadap 140 negara itu berada di posisi 37 dunia dengan nilai 4,52 atau turun tiga peringkat dibanding tahun lalu.

Singapura berada di posisi dua dengan nilai 5,68, Malaysia di posisi 18 dengan nilai 5,23, dan Thailand�di peringkat 32 dengan nilai 4,64.

Sementara itu, Filipina dan Vietnam masing-masing di posisi 47 dan 56 dengan nilai masing-masingn 4,39 dan 4,30.

Ada 113 indikator yang digunakan FED untuk mengukur produktivitas suatu negara di antaranya adalah infrastruktur, inovasi dan lingkungan makro ekonomi.

Siapkan diri

Indonesia sebenarnya telah menyiapkan diri dalam memasuki era MEA. Meski masih ada sejumlah catatan perbaikan dari berbagai kalangan demi meraih kemenangan dalam persaingan.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar, Rossalis Rusman Adenan, menyoroti 12 sektor prioritas barang dan jasa dalam menghadapi MEA, empat di antaranya bergerak dalam bidang jasa. Dua di antara empat sektor jasa yang memainkan peran penting yakni logistik dan perhubungan udara.

Pemerintah yang dengan semangat menjadikan negara sebagai poros maritim dunia, telah mencanangkan program Tol laut dalam rangka menekan biaya logistik yang ini masih di kisaran 25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk mempercepat upaya menurunkan biaya logistik dan meningkatkan daya saing produk dengan mengurangi disparitas harga di wilayah Barat dan Timur, maka tiga dari enam trayek tol laut dimulai sejak 4 November 2015.

Berkaitan dengan industri penerbangan, Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca) M. Arif Wibowo menilai, jika bea masuk komponen pesawat dibebaskan, maka akan menambah ruang untuk biaya operasional, sehingga menciptakan layanan jasa penerbangan yang lebih kompetitif.

Arif, yang juga Direktur Utama Garuda Indonesia (anggota Sky Team), secara umum maskapai nasional siap menghadapi MEA, baik dari segi bisnis, sumber daya manusia, operasional, finansial dan pelayanan, terlebih dalam momentum yang bersamaan dengan kebijakan keterbukaan penerbangan kawasan Asia Tenggara (ASEAN Open Sky).

Adapun Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar mengatakan, setidak-tidaknya ada tiga sektor yang perlu dipacu secara sungguh-sungguh dalam menghadapi persaingan, yakni konstruksi, infrastruktur dan manufaktur.

Selain itu, dikemukakannya, pada sisi regulasi yang harus disederhanakan.

Berkaitan dengan koperasi serta usaha kecil dan menengah (UKM), Asisten Deputi Urusan Kebijakan Pendidikan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Rully Nuryanto menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan pelaku KUKM sendirian menghadapi MEA.

Pihaknya akan terus mendampingi KUKM dengan berbagai program dan pelatihan misalnya dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi pelaku UKM.

"Kami butuh dukungan masyarakat, terutama KUKM sebagai penunjang kekuatan ekonomi Indonesia yang berarti bahwa KUKM adalah pahlawan perekonomian kita," katanya.

Pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan, tetap diperlukan aturan khusus semacam undang-undang untuk UKM sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Tanpa adanya aturan itu, menurut dia, sama saja Indonesia menganut ekonomi pasar bebas yang tidak memberikan keberpihakan apapun kepada rakyatnya.

Di sektor pariwisata, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedy mengatakan, pemerintah bukan hanya perlu melakukan promosi secara besar-besaran, menyediakan produk yang diinginkan oleh wisatawan, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang terampil, hingga menjamin tersedianya prasarana dan sarana.

Peran pemerintah dalam pembangunan pariwisata tidak hanya membuat regulasi, memfasilitasi, tetapi juga mengintervensi jika dianggap sangat perlu.

Berkaitan dengan ketenagakerjaan, Kepala Seksi Organisasi Pekerja Kementerian Ketenagakerjaan Fritz Simon mengatakan bahwa MEA harus dipandang sebagai peluang yang harus dihadapi. MEA sudah tidak bisa lagi.

Simon mengemukakan bahwa pemerintah, pengusaha, dan pekerja harus aktif meningkatkan peran dan fungsi masing-masing. Karena itu, diperlukan komunikasi dan dialog untuk saling memperkuat.

Sedangkan, Direktur Dewan Serikat Pekerja Karyawan Sektor Jasa ASEAN (ASETUC) Kun Wardana Abyoto mengatakan, globalisasi dan MEA tidak bisa dihindari sehingga pekerja di Indonesia harus mempersiapkan diri.

"Pekerja harus mengantisipasi dengan memiliki kompetensi yang bisa diserap oleh lapangan kerja. Kita tidak tahu dalam dua atau tiga tahun ke depan, kondisi pekerjaan kita masih sama atau tidak," katanya.

Selain pelaksanaan MEA, Kun menilai, perkembangan teknologi yang pesat juga harus dipertimbangkan pekerja agar tidak kehilangan pekerjaan karena kompetensi yang tidak meningkat.

Salah satu perkembangan teknologi yang terjadi adalah adanya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan robotisasi di berbagai bidang pekerjaan yang bisa menggantikan peran pekerja manusia.

Siap tidak siap, era MEA sudah tiba. Hasil peningkatan efisiensi, daya saing, nilai tambah, dan juga produktivitas dari beragam kinerja perekonomian di berbagai daerah di Tanah Air akan diuji mulai awal tahun ini.

Link Berita: Klik Disini
Indef: Indonesia masih bergantung ekspor komoditas

Indef: Indonesia masih bergantung ekspor komoditas

Pekalongan (ANTARA News) - Hingga saat ini Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas sehingga hal ini rentan kalah bersaing untuk menghadapi era pasar bebas,  kata Direktur Institute for Deleloment of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.

"Oleh karena, untuk mendukung peningkatan ekspor komoditas agar bisa go internasional perlu adanya dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah," katanya pada acara "Seminar Kemandirian Ekonomi Indonesia Menuju Era Globalisasi" di Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu.

Ia mengemukakan, saat ini nilai ekspor Indonesia hanya mencapai 10 persen sedang nilai impor mencapai 21 persen sehingga kondisi tersebut berpengaruh terhadap neraca perdagangan.

"Oleh karena, untuk menyeimbangkan neraca, maka Pemerintah Indonesia memberikan stimulus kompensasi modal nasuk dan menarik investor," katanya. (Baca juga: Kursus Ekspor-Impor dan Ahli Kepabeanan)

Menurut dia, perkembangan perekonomian Indonesia juga bergantung pada kondisi ekonomi Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai negara eksportir terbesar.

"Dampak penurunan perekonomian Tiongkok sebesar satu persen turun 0,11 persen relatif berpengaruh terhadap Indonesia karena implementasinya modal yang ada di Indonesia akan pulang kampung," katanya.

Ia berpendapat, untuk mengantisipasi ketergantungan pada negara lain, Indonesia perlu mencontoh negara India yang mengalami proses politik hampir sama dengan Indonesia.

"Transisi kepemimpinan India hampir sama dengan Indonesia, yaitu melakukan stabilisasi perekonomian, stabilisasi harga yang semula mencapai delapan persen mampu ditekan menjadi enam persen. Hal ini, berpengaruh terhadap suku bunga," katanya.

Pada kesempatan itu, Enny mengingatkan kepada pelaku bisnis untuk mengambil langkah strategis dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia, perbaikan infrastruktur, penyediaan modal, dan reformasi iklim investasi.

"Adapun hal yang perlu diantisipasi pada MEA, antara lain melebarnya defisit perdagangan seiring peningkatan perdagangan barang dan implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dan luar ASEAN," demikian Enny Sri Hartati.

Link Berita: Klik Disini