Sunday, May 22, 2016

RI Pernah Jadi Eksportir Gula Terbesar Kedua Dunia, Kini Malah Impor

RI Pernah Jadi Eksportir Gula Terbesar Kedua Dunia, Kini Malah Impor

Jakarta -Kebutuhan gula konsumsi sampai saat ini masih bergantung pada impor. Saat ini, dari kebutuhan gula konsumsi sebesar 3 juta per tahun, produksi gula dalam negeri baru 2,5 juta ton. Riciannya 1,5 juta ton diproduksi pabrik gula (PG) BUMN, dan sisanya oleh PG swasta.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, menceritakan kondisi industri gula dalam negeri yang saat ini terus menurun. Pasalnya, saat zaman kolonial Hindia Belanda, Indonesia pernah menjadi negara eksportir kedua terbesar dunia setelah Kuba, tepatnya pada dekade 1930-an.

"Gara-gara tak pernah ada peremajaan pabrik yang kebanyakan peninggalan Belanda akhirnya kita sekarang impor. Padahal dulu kita eksportir kedua terbesar dunia, dengan produksi 3 juta ton setahun. Penduduk saat itu tak banyak, akhirnya diekspor kelebihannya," ujarnya kepada detikFinance, Senin (23/5/2016).

Menurut Sumitro, puncak produksi terjadi pada tahun 1929-1930 saat gula jadi komoditas andalah ekspor Hindia Belanda. Predikat eksportir gula terbesar tersebut tak lepas dari banyaknya pabrik gula (PG) yang dbangun di awal tahun 1920-an (Baca juga: Diklat Ekspor-Impor Terpadu dengan Uji Kompetensi Nasional)

"Itu bukan mimpi, Belanda sampai bangun 179 pabrik, terbanyak di Jawa. Kita juara dunia gula tahun 1929 sampai 1930. Setelah merdeka malah banyak pabrik gula dibiarkan," kata dia.

Menurut Sumitro, dengan produksi mencapai 3 juta ton, Indonesia mengalahkan negara-negara produsen utama gula dunia seperti Thailand, Brasil, dan India. Namun saat ini, negara-negara tersebut telah menyalip posisi Indonesia.

Brasil contohnya, produksi gula negara tersebut saat ini mencapai lebih dari 29 juta ton, disusul India dengan produksi 29 juta ton, China 11 juta ton, dan Thailand 5 juta ton. Sementara Indonesia, produksi gula malah menyusut dari 3 juta ton menjadi 2,5 juta ton sampai saat ini.

"Artinya ada kesalahan di manajemen pabrik gula dengan tidak adanya peremajaan pabrik-pabrik peninggalan Belanda. Kita itu berpikirnya lebih senang dagang ketimbang produksi, akhirnya kebijakan arahannya bagaimana bisa dicukup dengan impor saja," kata Sumitro.

Sumber: Detik Finance